Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat
Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat
Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat - Imah ( sunda) adalah nama dari Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten yang merupakan jenis rumah panggung yang hampir secara keseluruhan rumah yang menggunakan bahan baku dari bambu
Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu.
Batu yang digunakan adalah batu kali yang berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior dan interiornya.
Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat diantaranya menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Struktur rumah adat suku baduy
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis. Rumah panggung
Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah.
Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak.
Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig.
Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya.
Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan.
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Fungsi Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini,
- ruangan yang dikhususkan untuk ruangan tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah,
- ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruangan makan yang disebut tepas,
- ruangan untuk menerima tamu yang disebut sosoro. Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Semua hal yang berhubungan dengan Rumah Adat Baduy ini merupakan sudah menjadi adatnya yang benar-benar harus terus dilestarikan karena semuanya memiliki filosofi dan mengandung makna tertentu yang membuat masyarakat Suku Baduy mampu bertahan hingga sekarang.
Demikian Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat , semoga informasi seputar Rumah Adat Suku Baduy Banten ini bermanfaat, jangan lupa share di google plus dan berkomentar dan berkunjung kembali
Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan batu.
Batu yang digunakan adalah batu kali yang berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy. Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala keluarga.
Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior dan interiornya.
Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat diantaranya menghadap ke utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi. Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Struktur rumah adat suku baduy
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan elastis. Rumah panggung
Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah.
Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak.
Jika jenis atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig.
Orang Baduy tidak mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya.
Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan.
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Fungsi Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini,
- ruangan yang dikhususkan untuk ruangan tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut imah,
- ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruangan makan yang disebut tepas,
- ruangan untuk menerima tamu yang disebut sosoro. Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Semua hal yang berhubungan dengan Rumah Adat Baduy ini merupakan sudah menjadi adatnya yang benar-benar harus terus dilestarikan karena semuanya memiliki filosofi dan mengandung makna tertentu yang membuat masyarakat Suku Baduy mampu bertahan hingga sekarang.
Demikian Keunikan Rumah Adat Tradisional suku Baduy Banten Jawa Barat , semoga informasi seputar Rumah Adat Suku Baduy Banten ini bermanfaat, jangan lupa share di google plus dan berkomentar dan berkunjung kembali