Keunikan Sejarah Budaya Adat Istiadat Suku Bali Daerah Provinsi Bali
Keunikan Sejarah Budaya Adat Istiadat Suku Bali Daerah Provinsi Bali
Keunikan adat istiadat di Bali banyak mendapat pengaruh kebudayaan pada masa pemerintahan raja raja Majapahit terutama berasal dari kerajaan Hindu di Bali yang merupakan warisan luhur budaya nenek moyang pada masa itu.
Adat istiadat di Bali merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang berbudaya tinggi yang berpedoman pada ajaran Hindu yang di yakini sebagai ajaran kebenaran yang bersumber dari Tuhan.
Dalam realisasinya kehidupan masyarakat di Bali dapat di bedakan menjadi beberapa golongan ataupun tingkatan yang di sesuaikan dengan fungsi dan tugasnya masing masing atau yang lebih di kenal dengan sebutan kasta. Adapun golongan di maksud terdiri dari Brahmana, Kesatria, Waisya dan Sudra.
Berdasarkan sejarahnya ke empat golongan di maksud di buat berdasarkan garis keturunan dari para raja yang berkuasa saat itu yang sampai dengan saat ini di jadikan sebuah acuan dalam pelaksaaan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan masyarakat di Bali.
Keempat golongan tersebut terdiri dari:
Brahmana
Mereka yang di golongkan ke dalam kasta Brahmana memiliki fungsi dan tugas untuk memimpin upacara keagamaan. Mereka yang di golongkan ke dalam golongan ini di yakini memiliki kemampuan dan juga pengetahuan yang lebih luas berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya sebagaimana yang di jalankan oleh para rohaniawan pada masa pemerintahan raja raja Majapahit.
Berdasarkan garis keturunannya pemberian nama atau gelar pada setiap golongan berbeda beda. Golongan Brahmana sendiri bergelar Ida Bagus untuk kaum laki laki sementara Ida Ayu merupakan gelar atau sebutan yang di tujukan kepada kaum perempuan.
Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya kedudukan kasta Brahmana tidak bisa di gantikan oleh kasta yang lain sekalipun ada dari mereka memiliki kemampuan atau pengetahuan lebih luas dari golongan Brahmana itu sendiri.
Demikian juga halnya dengan pengangkatan seorang pendeta atau pedanda tidak boleh di lakukan sembarangan, semua harus mengacu pada sebuah ketentuan yang telah di tetapkan oleh raja dan juga rohaniawan Hindu yang paham betul terhadap sejarah penyebarannya dan telah di jalankan secara turun temurun.
Sama halnya dengan sejarah perjalanan para Maha Rsi saat pertama kali datang ke Bali, pada saat ini golongan Brahmana juga memiliki banyak pengikut (sisya) sesuai dengan garis keturunannya masing masing. Itu artinya warisan budaya dan adat istiadat yang telah di wariskan mulai sejak pemerintahan raja raja Majapahit tidak pernah kekang oleh waktu.
Rasa kebersamaan dan gotong royong antar berbagai golongan sampai dengan saat ini masih tetap terjaga dengan baik, terbukti dalam setiap kegiatan upacara keagamaan mereka tetap menempatkan golongan Brahmana sebagai pucuk pimpinan dalam muput atau menyelesaikan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan.
Kesatria
Yang termasuk ke dalam golongan Kestaria adalah mereka yang memiliki kedudukan sebagai bangsawan yang dalam fungsi dan tugasnya memiliki peran sebagai penegak rasa keadilan masyarakat. Pada masa pemerintahan raja raja Hindu terdahulu yang di kategorikan sebagai seorang kesatria adalah mereka yang duduk sebagai prajurit atau punggawa dan di beri gelar anak Agung.
Dalam kultur masyarakat Bali keberadaan seorang kesatria memiliki peran penting dan mereka biasanya selalu di libatkan dalam setiap kegiatan kemasyarakatan seperti halnya penerapan awig ataupun aturan yang di berlakukan pada masing masing desa adat ataupun desa pekraman. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka biasanya di percaya sebagai tokoh adat.
Waisya
Mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan pekerja di bidang ekonomi lainnya di golongkan sebagai kasta waisya. Berdasarkan garis keturunannya mereka di beri gelar I Gusti Bagus dan Ni Gusti Ayu yaitu sebutan untuk kaum laki laki dan juga perempuan.
Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya mereka yang di golongkan kedalam kasta Waisya memiliki peran yang cukup penting dalam upaya membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatannya.
Sudra
Golongan Sudra adalah golongan masyarakat yang memiliki fungsi dan tugas sebagai pelaksana tugas sehari hari yang di canangkan oleh pemerintah. Mereka yang di golongkan ke dalam kasta Sudra meliputi para petani, buruh, nelayan dan juga para pekerja kasar lainnya.
Berdasarkan garis keturunannya mereka yang di golongkan ke dalam kasta Sudra tidak memiliki gelar apapun. Pemberian nama hanya di dasarkan atas urutan kelahirannya. Anak pertama di berikan nama Wayan, anak kedua Made, anak ketiga Komang dan anak ke empat di beri nama Ketut. Pemberian nama antara kaum laki laki dan perempuan bisa di bedakan dari nama awalnya di mana untuk kaum laki laki biasanya berawal dari I sementara kaum perempuan di awali dengan Ni kemudian baru di ikuti dengan nama aslinya.
Bagi mereka yang tidak memahami sejarah pemberian nama untuk orang Bali terkadang merasa bingung untuk membedakannya karena hampir semua penduduk asli Bali memiliki nama yang sama yakni wayan, made, komang dan ketut. Pemberian keempat istilah nama tersebut memiliki makna tersendiri yang di ambil dari bahasa asli penduduknya yaitu Bahasa Bali. Kata Wayan berarti wayah (tertua), Made berarti di tengah (middle), Komang berarti lanjutan sementara Ketut berarti Ngatut (terakhir). dan untuk bisa membedakannya di sarankan untuk mengetahui namanya secara lengkap.
Ibaratkan sebuah kehidupan ekosistem keberadaan keempat kasta ini mulai dari kasta Brahmana - Ksatria - Waisya dan Sudra merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dalam upaya meningkatkan kesejahtraan masyarakat secara menyeluruh.
KEBIASAAN MASYARAKAT BALI
Masyarakat Bali yang pada umumnya ramah tamah, dengan pola kehidupan yang bhineka atau plurarisme dan tidak terlalu banyak aturan ataupun fanatik terhadap suatu paham, memiliki adat istiadat yang selalu mereka pegang teguh dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka bisa hidup dengan kedamaian. Siapa tahu bagi anda yang kebetulan pertama kali datang ke Pulau Seribu pura ini, entah itu untuk liburan, tugas kantor, study ataupun berbisnis, ada perlunya mengetahui beberapa hal tentang kebiasaan masyarakat, selain mungkin tempat-tempat wisata yang indah di sepanjang perjalanan juga kebiasaan unik yang menarik.
Beberapa kebiasaan tersebut tersebut antara lain;
Mesaiban– sebuah ritual kecil, yang dilakukan setiap pagi hari sehabis ibu-ibu selesai memasak di dapur, kebiasaan ritual ini sebelum makan, kebiasaan ini bisa sebagai wujud terima kasih atas apa yang telah dikaruniakan-Nya, dan juga sebagai sajian ke bhuta kala agar somya (tidak menggangu)
Ngejot – kebiasaan bagi masyarakat untuk memberi dan diberi (berupa makanan). Bertujuan untuk menguatkan ikatan sosial di masyarakat, baik saudara maupun tetangga. Dilakukan saat salah satu keluarga ataupun masyarakat ada kegiatan upacara agama, kebiasaan ini juga dilakukan antara penduduk Bali Hindu dan non Hindu.
Kasta– Catur Kasta, penggolongan masyarakat di Bali berdasarkan ras ataupun keturununan, digolongkan dari posisi yang paling atas; Brahmana, ksatria, Weisya dan Sudra. Yang mendominasi adalah Sudra (masyarakat biasa). Kelompok Sudra (mendominasi hampir 90%), di dalam berkomunikasidengan Brahmana, Ksatria dan Weisya, menggunakan tata bahasa Bali yang lebih halus. Begitu sebaliknya mereka akan menaggapi dengan halus pula.
Kata “Bli”di Bali kata ini cukup populer, kata yang digunakan memanggil orang lain yang lebih tua dari kita atau paling tidak seumur (bisa diartikan “Mas”) dengan tujuan penuh keakraban antar sesama. Namun jika anda menggunakan kata ini perhatikan Kasta mereka apakah dari kasta yang lebih tinggi, seperti namanya ada embel-embel seperti; Ida, I Gusti, Ida Bagus, Cokorde dan Anak Agung. Walaupun mereka tidak tersinggung dengan Kata ‘Bli” yang kita sebutkan tapi itikad kita menghargai orang lain, alangkah baiknya tidak menggunakan sebutan tersebut.
Kebiasaan sopan pada sesama apalai kepada orang yang lebih tua, dan pada kasta yang lebih tinggi. Menyangkut etika, sangat tidak sopan menunjukkan sesuatu dengan tangan kiri, lawan bicara bisa jadi tersinggung, apalagi menunjuk dengan kaki, lawan bicara bisa jadi emosi. Kalau toh hal itu harus dilakukan, bilang maaf terlebih dahulu, atau orang bali biasa bilang kata “tabik”.
Karma Phala– masyarakat hindu di Bali sangat meyakini sekali hukum karma phala ini yang. Karma Phala ini berarti kebaikan yang kita lakukan kebaikan pula yang akan kita dapatkan, begitu sebaliknya. Sehingga orang-orang untuk melakukan tindakan yang tidak baik harus berpikir tentang pahala yang akan mereka peroleh nantinya, diyakini pahalanya bisa dinikmati/ berimbas di kehidupan sekarang, di akhirat dan kehidupan berikutnya bahkan bisa sampai ke anak-cucu. Begitu besarnya hukum sebab akibat ini, sehingga di harapkan semua masyarakat bisa berbuat kebaikan.
Banyak sekali upacara-upacara di provinsi Bali yang sering kita dengar diantaranya Upacara Bukakak dan Upacara Ngaben
Upacara Bukakak ialah upacara dalam rangka melakukan permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa untuk memberikan kesuburan kepada tanah-tanah pertanian mereka supaya hasil panennya berlimpah ruah. Kebiasaan dalam gelaran upacara unik ini dilakukan di desa adat dan tidak dilakukan di daerah-daerah lainnya di Bali. Jadi, bagi Anda yang ingin menyaksikan bagaimana upacara ini digelar bisa menyambangi desa adat Bali.
Masyarakat desa adat yang melaksanakan upacara ini adalah masyarakat agraris yang masih dengan setia memegang teguh adat istiadat dan kepercayaaan secara turun temurun yang diwariskan leluhur mereka, dan Salah satu warisan yang selalu dijaga, dipelihara dan dilakukan oleh masyarakat desa tersebut adalah ritual Upacara Bukakak. Upacara Bukakak sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan masih terperihara hinggga sekarang, pada mulanya upacara ini dilakukan 1 tahun sekali, namun karena terkendala faktor biaya yang tidak sedikit, akhirnya upacara ini dilakukan setiap 2 tahun sekali.
Menjelang sebelum upacara Bukakak ini diadakan, ada persiapan lain yg dilakukan, yakni
Membersihkan perlengkapan upacara.Upacara ngusaba umi diadakan di Pura Pelinggih.
Membuat Dangsil berbentuk segi empat yang terbuat dari pohon pinang, dengan rangkaian bambu dihiasi dengan daun enau tua yang dibuat bertingkat tingkat/berundak undak seperti anak tangga terdiri dari 7,9 dan 11 tingkat, ini semua melambangkan Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa).
Mengadakan upacara Ngusaba di pura yang terdapat di desa setempat.
Upacara Ngaben
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi atau kelahiran kembali. Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya.
Upacara ini biasanya dilakukan di hari-hari baik. Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender Bali yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan “bade dan lembu” terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Pagi hari sebelum upacara Ngaben dimulai, segenap keluarga dan handai taulan datang untuk melakukan penghormatan terakhir dan biasanya disajikan sekedar makan dan minum. Pada tengah hari, jasad dibersihkan dan dibawa ke luar rumah diletakkan di Bade atau lembu yang disiapkan oleh para warga Banjar, lalu diusung beramai-ramai, semarak, disertai suara gaduh gambelan dan “kidung” menuju ke tempat upacara. Bade diarak dan berputar-putar dengan maksud agar roh orang yang meningal itu menjadi bingung dan tidak dapat kembali ke keluarga yang bisa menyebabkan gangguan, dll.
Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di punggung lembu, pendeta mengujar mantra – mantra secukupnya, kemudian menyalakan api perdana pada jasad. Setelah semuanya menjadi abu, upacara berikutnya dilakukan yakni membuang abu tersebut ke sungai atau laut terdekat lalu dibuang, dikembalikan ke air dan angin. Ini merupakan rangkaian upacara akhir atas badan kasar orang yang meninggal, kemudian keluarga dapat dengan tenang hati menghormati arwah tersebut di pura keluarga, setelah sekian lama, arwah tersebut diyakini akan kembali lagi ke dunia.
Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan lumayan besar, hal ini sering dilakukan cukup lama setelah kematian.Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan
Adapun pernikahan adat Bali banyak sekali tata cara atau tradisi adat pernikahan tersebut diantaranya
adat pernikahan bali
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karenamasyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.
pakaian-adat-bali-pakaian-tradisional-bali-baju-adat-bali merupakan pakaian adat pernikahan Bali
Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:
Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikantembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
Madengen - dengen
Adat istiadat di Bali merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang berbudaya tinggi yang berpedoman pada ajaran Hindu yang di yakini sebagai ajaran kebenaran yang bersumber dari Tuhan.
Dalam realisasinya kehidupan masyarakat di Bali dapat di bedakan menjadi beberapa golongan ataupun tingkatan yang di sesuaikan dengan fungsi dan tugasnya masing masing atau yang lebih di kenal dengan sebutan kasta. Adapun golongan di maksud terdiri dari Brahmana, Kesatria, Waisya dan Sudra.
Berdasarkan sejarahnya ke empat golongan di maksud di buat berdasarkan garis keturunan dari para raja yang berkuasa saat itu yang sampai dengan saat ini di jadikan sebuah acuan dalam pelaksaaan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan masyarakat di Bali.
Keempat golongan tersebut terdiri dari:
Brahmana
Mereka yang di golongkan ke dalam kasta Brahmana memiliki fungsi dan tugas untuk memimpin upacara keagamaan. Mereka yang di golongkan ke dalam golongan ini di yakini memiliki kemampuan dan juga pengetahuan yang lebih luas berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya sebagaimana yang di jalankan oleh para rohaniawan pada masa pemerintahan raja raja Majapahit.
Berdasarkan garis keturunannya pemberian nama atau gelar pada setiap golongan berbeda beda. Golongan Brahmana sendiri bergelar Ida Bagus untuk kaum laki laki sementara Ida Ayu merupakan gelar atau sebutan yang di tujukan kepada kaum perempuan.
Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya kedudukan kasta Brahmana tidak bisa di gantikan oleh kasta yang lain sekalipun ada dari mereka memiliki kemampuan atau pengetahuan lebih luas dari golongan Brahmana itu sendiri.
Demikian juga halnya dengan pengangkatan seorang pendeta atau pedanda tidak boleh di lakukan sembarangan, semua harus mengacu pada sebuah ketentuan yang telah di tetapkan oleh raja dan juga rohaniawan Hindu yang paham betul terhadap sejarah penyebarannya dan telah di jalankan secara turun temurun.
Sama halnya dengan sejarah perjalanan para Maha Rsi saat pertama kali datang ke Bali, pada saat ini golongan Brahmana juga memiliki banyak pengikut (sisya) sesuai dengan garis keturunannya masing masing. Itu artinya warisan budaya dan adat istiadat yang telah di wariskan mulai sejak pemerintahan raja raja Majapahit tidak pernah kekang oleh waktu.
Rasa kebersamaan dan gotong royong antar berbagai golongan sampai dengan saat ini masih tetap terjaga dengan baik, terbukti dalam setiap kegiatan upacara keagamaan mereka tetap menempatkan golongan Brahmana sebagai pucuk pimpinan dalam muput atau menyelesaikan berbagai macam kegiatan upacara keagamaan.
Kesatria
Yang termasuk ke dalam golongan Kestaria adalah mereka yang memiliki kedudukan sebagai bangsawan yang dalam fungsi dan tugasnya memiliki peran sebagai penegak rasa keadilan masyarakat. Pada masa pemerintahan raja raja Hindu terdahulu yang di kategorikan sebagai seorang kesatria adalah mereka yang duduk sebagai prajurit atau punggawa dan di beri gelar anak Agung.
Dalam kultur masyarakat Bali keberadaan seorang kesatria memiliki peran penting dan mereka biasanya selalu di libatkan dalam setiap kegiatan kemasyarakatan seperti halnya penerapan awig ataupun aturan yang di berlakukan pada masing masing desa adat ataupun desa pekraman. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka biasanya di percaya sebagai tokoh adat.
Waisya
Mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan pekerja di bidang ekonomi lainnya di golongkan sebagai kasta waisya. Berdasarkan garis keturunannya mereka di beri gelar I Gusti Bagus dan Ni Gusti Ayu yaitu sebutan untuk kaum laki laki dan juga perempuan.
Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya mereka yang di golongkan kedalam kasta Waisya memiliki peran yang cukup penting dalam upaya membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatannya.
Sudra
Golongan Sudra adalah golongan masyarakat yang memiliki fungsi dan tugas sebagai pelaksana tugas sehari hari yang di canangkan oleh pemerintah. Mereka yang di golongkan ke dalam kasta Sudra meliputi para petani, buruh, nelayan dan juga para pekerja kasar lainnya.
Berdasarkan garis keturunannya mereka yang di golongkan ke dalam kasta Sudra tidak memiliki gelar apapun. Pemberian nama hanya di dasarkan atas urutan kelahirannya. Anak pertama di berikan nama Wayan, anak kedua Made, anak ketiga Komang dan anak ke empat di beri nama Ketut. Pemberian nama antara kaum laki laki dan perempuan bisa di bedakan dari nama awalnya di mana untuk kaum laki laki biasanya berawal dari I sementara kaum perempuan di awali dengan Ni kemudian baru di ikuti dengan nama aslinya.
Bagi mereka yang tidak memahami sejarah pemberian nama untuk orang Bali terkadang merasa bingung untuk membedakannya karena hampir semua penduduk asli Bali memiliki nama yang sama yakni wayan, made, komang dan ketut. Pemberian keempat istilah nama tersebut memiliki makna tersendiri yang di ambil dari bahasa asli penduduknya yaitu Bahasa Bali. Kata Wayan berarti wayah (tertua), Made berarti di tengah (middle), Komang berarti lanjutan sementara Ketut berarti Ngatut (terakhir). dan untuk bisa membedakannya di sarankan untuk mengetahui namanya secara lengkap.
Ibaratkan sebuah kehidupan ekosistem keberadaan keempat kasta ini mulai dari kasta Brahmana - Ksatria - Waisya dan Sudra merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dalam upaya meningkatkan kesejahtraan masyarakat secara menyeluruh.
KEBIASAAN MASYARAKAT BALI
Masyarakat Bali yang pada umumnya ramah tamah, dengan pola kehidupan yang bhineka atau plurarisme dan tidak terlalu banyak aturan ataupun fanatik terhadap suatu paham, memiliki adat istiadat yang selalu mereka pegang teguh dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka bisa hidup dengan kedamaian. Siapa tahu bagi anda yang kebetulan pertama kali datang ke Pulau Seribu pura ini, entah itu untuk liburan, tugas kantor, study ataupun berbisnis, ada perlunya mengetahui beberapa hal tentang kebiasaan masyarakat, selain mungkin tempat-tempat wisata yang indah di sepanjang perjalanan juga kebiasaan unik yang menarik.
Beberapa kebiasaan tersebut tersebut antara lain;
Mesaiban– sebuah ritual kecil, yang dilakukan setiap pagi hari sehabis ibu-ibu selesai memasak di dapur, kebiasaan ritual ini sebelum makan, kebiasaan ini bisa sebagai wujud terima kasih atas apa yang telah dikaruniakan-Nya, dan juga sebagai sajian ke bhuta kala agar somya (tidak menggangu)
Ngejot – kebiasaan bagi masyarakat untuk memberi dan diberi (berupa makanan). Bertujuan untuk menguatkan ikatan sosial di masyarakat, baik saudara maupun tetangga. Dilakukan saat salah satu keluarga ataupun masyarakat ada kegiatan upacara agama, kebiasaan ini juga dilakukan antara penduduk Bali Hindu dan non Hindu.
Kasta– Catur Kasta, penggolongan masyarakat di Bali berdasarkan ras ataupun keturununan, digolongkan dari posisi yang paling atas; Brahmana, ksatria, Weisya dan Sudra. Yang mendominasi adalah Sudra (masyarakat biasa). Kelompok Sudra (mendominasi hampir 90%), di dalam berkomunikasidengan Brahmana, Ksatria dan Weisya, menggunakan tata bahasa Bali yang lebih halus. Begitu sebaliknya mereka akan menaggapi dengan halus pula.
Kata “Bli”di Bali kata ini cukup populer, kata yang digunakan memanggil orang lain yang lebih tua dari kita atau paling tidak seumur (bisa diartikan “Mas”) dengan tujuan penuh keakraban antar sesama. Namun jika anda menggunakan kata ini perhatikan Kasta mereka apakah dari kasta yang lebih tinggi, seperti namanya ada embel-embel seperti; Ida, I Gusti, Ida Bagus, Cokorde dan Anak Agung. Walaupun mereka tidak tersinggung dengan Kata ‘Bli” yang kita sebutkan tapi itikad kita menghargai orang lain, alangkah baiknya tidak menggunakan sebutan tersebut.
Kebiasaan sopan pada sesama apalai kepada orang yang lebih tua, dan pada kasta yang lebih tinggi. Menyangkut etika, sangat tidak sopan menunjukkan sesuatu dengan tangan kiri, lawan bicara bisa jadi tersinggung, apalagi menunjuk dengan kaki, lawan bicara bisa jadi emosi. Kalau toh hal itu harus dilakukan, bilang maaf terlebih dahulu, atau orang bali biasa bilang kata “tabik”.
Karma Phala– masyarakat hindu di Bali sangat meyakini sekali hukum karma phala ini yang. Karma Phala ini berarti kebaikan yang kita lakukan kebaikan pula yang akan kita dapatkan, begitu sebaliknya. Sehingga orang-orang untuk melakukan tindakan yang tidak baik harus berpikir tentang pahala yang akan mereka peroleh nantinya, diyakini pahalanya bisa dinikmati/ berimbas di kehidupan sekarang, di akhirat dan kehidupan berikutnya bahkan bisa sampai ke anak-cucu. Begitu besarnya hukum sebab akibat ini, sehingga di harapkan semua masyarakat bisa berbuat kebaikan.
Banyak sekali upacara-upacara di provinsi Bali yang sering kita dengar diantaranya Upacara Bukakak dan Upacara Ngaben
Upacara Bukakak ialah upacara dalam rangka melakukan permohonan kepada Sanghyang Widhi Wasa untuk memberikan kesuburan kepada tanah-tanah pertanian mereka supaya hasil panennya berlimpah ruah. Kebiasaan dalam gelaran upacara unik ini dilakukan di desa adat dan tidak dilakukan di daerah-daerah lainnya di Bali. Jadi, bagi Anda yang ingin menyaksikan bagaimana upacara ini digelar bisa menyambangi desa adat Bali.
Masyarakat desa adat yang melaksanakan upacara ini adalah masyarakat agraris yang masih dengan setia memegang teguh adat istiadat dan kepercayaaan secara turun temurun yang diwariskan leluhur mereka, dan Salah satu warisan yang selalu dijaga, dipelihara dan dilakukan oleh masyarakat desa tersebut adalah ritual Upacara Bukakak. Upacara Bukakak sudah dilakukan sejak zaman dahulu dan masih terperihara hinggga sekarang, pada mulanya upacara ini dilakukan 1 tahun sekali, namun karena terkendala faktor biaya yang tidak sedikit, akhirnya upacara ini dilakukan setiap 2 tahun sekali.
Menjelang sebelum upacara Bukakak ini diadakan, ada persiapan lain yg dilakukan, yakni
Membersihkan perlengkapan upacara.Upacara ngusaba umi diadakan di Pura Pelinggih.
Membuat Dangsil berbentuk segi empat yang terbuat dari pohon pinang, dengan rangkaian bambu dihiasi dengan daun enau tua yang dibuat bertingkat tingkat/berundak undak seperti anak tangga terdiri dari 7,9 dan 11 tingkat, ini semua melambangkan Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa).
Mengadakan upacara Ngusaba di pura yang terdapat di desa setempat.
Upacara Ngaben
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi atau kelahiran kembali. Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya.
Upacara ini biasanya dilakukan di hari-hari baik. Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender Bali yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan “bade dan lembu” terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Pagi hari sebelum upacara Ngaben dimulai, segenap keluarga dan handai taulan datang untuk melakukan penghormatan terakhir dan biasanya disajikan sekedar makan dan minum. Pada tengah hari, jasad dibersihkan dan dibawa ke luar rumah diletakkan di Bade atau lembu yang disiapkan oleh para warga Banjar, lalu diusung beramai-ramai, semarak, disertai suara gaduh gambelan dan “kidung” menuju ke tempat upacara. Bade diarak dan berputar-putar dengan maksud agar roh orang yang meningal itu menjadi bingung dan tidak dapat kembali ke keluarga yang bisa menyebabkan gangguan, dll.
Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di punggung lembu, pendeta mengujar mantra – mantra secukupnya, kemudian menyalakan api perdana pada jasad. Setelah semuanya menjadi abu, upacara berikutnya dilakukan yakni membuang abu tersebut ke sungai atau laut terdekat lalu dibuang, dikembalikan ke air dan angin. Ini merupakan rangkaian upacara akhir atas badan kasar orang yang meninggal, kemudian keluarga dapat dengan tenang hati menghormati arwah tersebut di pura keluarga, setelah sekian lama, arwah tersebut diyakini akan kembali lagi ke dunia.
Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan lumayan besar, hal ini sering dilakukan cukup lama setelah kematian.Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan
Adapun pernikahan adat Bali banyak sekali tata cara atau tradisi adat pernikahan tersebut diantaranya
adat pernikahan bali
Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karenamasyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.
pakaian-adat-bali-pakaian-tradisional-bali-baju-adat-bali merupakan pakaian adat pernikahan Bali
Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:
Upacara Ngekeb
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikantembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
Upacara Mesegehagung
Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
Madengen - dengen
Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian
Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
Mejauman Ngabe Tipat Bantal
Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.
Demikian Keunikan Sejarah Budaya Adat Istiadat Suku Bali Daerah Provinsi Bali , semoga bermanfaat